Cak Nun: Macan Berpeci dan Ilmu Jawa Soeharto
Hafizd Mukti, CNN Indonesia Kamis, 21/05/2015 18:01 WIB

Indeks Berita Klik “>” untuk membaca artikel selanjutnya 1 dari 2
Soeharto. (CNN Indonesia/Istimewa)
Hari ini, tepat 17 tahun lalu, Soeharto turun dari kursi presiden. Setelah lebih sepekan digilas oleh protes mahasiswa, rezim yang telah berkuasa 32 tahun itu menyerah pada tuntutan reformasi. Pulang dari lawatannya ke Mesir, Soeharto menemukan republik dalam keadaan genting. Kerusuhan dan protes pecah di sekujur negeri. Mahasiswa kian hari kian nekad bertaruh nyawa untuk reformasi.

Tapi bukan cuma di dalam negeri desakan itu muncul. Dunia memasang mata untuk Indonesia. Bahkan, Amerika Serikat, sekutu erat rezim Orde Baru saat menumbangkan rezim Soekarno, juga mulai balik badan. Banyak kalangan menuding bahwa desakan penumbangan rezim diam-diam didukung oleh AS. (Baca juga: Soeharto Sampai Mati Tak Mau Bertemu Habibie)

“Sangat mungkin itu terjadi, malah saya meyakininya (desakan dari luar khususnya Amerika Serikat),” kata Emha Ainun Najib yang saat itu dipercaya Soeharto menjadi imamnya pasca lengser dari kekuasaan, kepada CNN Indonesia, Kamis (21/5).

Lantas apa yang menyebabkan pihak luar begitu berkepentingan dengan lengsernya Soeharto? Di luar lingkaran eksploitasi sumber daya alam, kata Cak Nun–panggilan akrab Ainun Nadjib, negara Barat tampaknya takut dengan konfigurasi politik baru Soeharto jika ia terus bertahan menjadi kepala negara. Maklum, didorong oleh hubungan yang mulai renggang dengan faksi-faksi di tubuh militer, Soeharto menciptakan keseimbangan politik baru dengan merapat ke kekuatan Islam.

Cak Nun berkisah, bahwa sejak awal 90an, Soeharto mulai memperlihatkan kecenderungan menggerakkan Indonesia menjadi bangsa yang disegani setidaknya di Asia. Namun, bukan itu yang ditakutkan Washington DC, selain memang Indonesia adalah negara besar dalam arti sebenarnya. Cak Nun mengatakan, Barat cemas jika Soeharto menjelma menjadi ‘Macan Berpeci’. (Baca juga: Malam Jelang Kejatuhan Soeharto, Pegawai Istana Terkurung)

“Soeharto adalah Islam, sudah sangat jelas itu, tapi itu tidak menakutkan (bagi negara Barat) karena Soeharto adalah Islam Jawa. Kemudian yang mungkin membuat Amerika khawatir, adalah kemunculan Soeharto sebagai Jawa Islam, tak lagi Islam Jawa,” paparnya.

Makna ‘Islam Jawa’ dan ‘Jawa Islam’ jelas berbeda. Pihak luar tidak peduli jika Soeharto membawa Indonesia menjadi Macan Asia, karena saat itu dengan ‘Islam Jawa’ yang dianut Soeharto tidak akan membuat ‘macan’ menggunakan sarung dan peci.

“Saya pakai idiom ‘Jawa Islam’, Dia ‘Islam’ tapi ‘Jawa’, ngerti kan maksudku? Kemudian kecenderungan Soeharto menjadi seorang ‘Jawa’ tapi ‘Islam’ mulai terlihat. Kalau macan tidak masalah, yang jadi masalah adalah saat ‘macan itu berpeci dan bersarung’. Jadi, jika Soeharto menjelma jadi ‘Macan Berpeci’, kata Cak Nun, Barat pasti akan sangat risau. (Baca juga: Mantap Mundur, Soeharto Rebut Pulpen dari Tangan Yusril)

Amerika Serikat saat itu, sepengetahuan Cak Nun, sangat mendukung Soeharto menjadi Macan Asia. “Silakan jadi macan, tapi jangan bagi-bagi kekuasaan dan jangan Islam (negara Islam),” ujar Cak Nun yang saat itu masuk di tim Komite Reformasi bersama Nurcholis Majid, Malik Fajar, Oetomo Dananjaya, dan S Drajat.

Jadi beban budaya yang ditanggung oleh bangsa ini, kata Cak Nun, saat Soeharto berkuasa ia memegang teguh segala pola Jawa dalam pemerintahannya. Tak bisa disalahkan, kata Cak Nun, karena memang saat itu, Soeharto sangat mengerti cara mengelola bangsa ini melalui ilmu ‘Kejawaannya’. “Pak Harto memang sangat minim mendapat pendidikan tata kelola negara secara modern, tapi ia sangat tahu bagaimana mengelola negeri ini secara ‘Jawa’.” (Baca juga: Fuad Bawazier: Dunia Berkonspirasi Menjatuhkan Pak Harto)

Lalu, apa saja ilmu Jawa yang dipakai Soeharto? (pit)

NEXT:
Ilmu Katuranggan dan Pranata Wangsa
Ikuti diskusi dan kirim pendapat anda melalui form di bawah ini atau klik di sini
Indeks Berita Klik “>” untuk membaca artikel selanjutnya